Memperkenalkan matematika harus dengan cara yang menyenangkan, supaya tidak menjadi momok |
Program ini kemudian berubah namanya menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia). Studi INAP yang dilakukan Kemendikbud tersebut juga menjelaskan terjadinya gawat darurat matematika pada siswa Indonesia.
"Pada 2016, kompetensi matematika siswa SD merah total," kata Peneliti RISE (Research on Improvement of System Education), Niken Rarasati yang lansir dari Medcom (15/11/18).
Sekitar 77,13% siswa SD di seluruh Indonesia mempunyai kompetensi matematika yang sangat rendah (kurang), 20,58% cukup dan hanya 2,29% yang kategori baik.
Setelah INAP berubah nama menjadi AKSI, Pemerintah kembali melaksanakan studinya. Menurut Niken, akhirnya tidak bergerak signifikan.
Kali ini asesmen dilakukan untuk siswa Sekolah Menengah Pertama kelas VIII pada 2017 di dua provinsi. Hasil kompetensi literasi matematika rerata hanya 27,51. Niken menyampaikan dari skor 0-100, hasil asesmen itu sangat buruk.
Kondisi ini pula yang mendorong diluncurkannya Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka). Salah satunya alasannya yakni tidak ingin Indonesia mengalami keterpurukan di masa yang akan datang.
Mengubah Metode Belajar Matematika
Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji mengatakan, banyak guru dan orangtua yang keliru dalam menerapkan metode mencar ilmu matematika pada anak. Sebagian besar pendidik hanya mengajarkan matematika sebatas hapalan rumus, dan hitungan angka.
"Guru harusnya bukan lagi mengajarkan materinya, tapi skill bermatematika. Hilangkan mengejar angka dan nilai semata, yang menciptakan anak tiba ke sekolah tapi bahwasanya tidak mendapat apa-apa," kata Indra.
Matematika harus diajarkan dengan memakai pendekatan yang kontekstual, dan bersahabat dengan keseharian. Siswa seringkali hanya menghapal rumus, namun mengalami kebingungan saat diberikan soal kisah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
"Jadi sehabis menguasai berhitungnya, harus pula dipakai di kehidupan sehari-hari. Misal saya ke kantin beli dua buah roti ditambah empat gelas minuman, terus anak resah padahal itu kan rumus yang kontekstual," terangnya.
Matematika konstektual banyak diperkenalkan dalam konsep Sains Technology, Engineering, and Mathematic (STEM). Di sejumlah olimpiade-olimpiade matematika dan sains sudah semenjak usang mengujikan soal yang menuntut siswa melatih kemampuan matematika kontekstualnya atau soal Higher Order Thinking Skill (HOTS).
Hal ini yang menjadi tantangan terbesar dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Selain metode mencar ilmu yang kuno, juga kondisi guru yang tidak ditingkatkan skill mengajarnya, menciptakan matematika hanya dipahami sebatas teori, bahkan sukses menciptakan matematika menjadi momok.
Mempelajari matematika sangat penting bagi semua orang, apapun bidang yang ditekuninya. Untuk itu, memperkenalkan matematika harus dengan cara yang menyenangkan, supaya tidak menjadi momok dan menjadikan kerugian di masa mendatang bagi penerima didik.
"Mengajar matematika itu tidak bisa pribadi pada rumus-rumus. Harus dikontekstualkan, supaya menarik, alasannya yakni semua orang butuh matematika," kata Rektor Universitas Indonesia (UI), Muhammad Anis.
Di kurun kekinian, berdasarkan Anis, mengajarkan matematika bisa dengan memakai media tambahan, ibarat adonan antara games dengan teori.
Advertisement